Habis Kuliah Ngapain Ya?

RA Fauzan
5 min readOct 28, 2018

Brace yourself! Wisokt is coming! Selamat buat mahasiswa yang akhirnya bisa melepas status mahasiswa yang kata masa-masa paling berat (setuju gak?). Kalian yang baru lulus akhirnya bisa dengan mantap menjawab seluruh pertanyaan dari siapapun yang nanya kapan lulus, mas/mbak? Tapi “kemenangan” itu mungkin gak akan berlangsung lama, mengingat keluarga-keluarga selalu mengeluarkan jurus jitu untuk memecah keheningan dengan memunculkan teka-teki baru. Mungkin, “kerja dimana mas/mbak?” atau “kapan nikah nih?” Ya, basa-basi ini gak akan pernah habis dan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar akan senantiasa makin aneh dari hari ke hari dan kemampuan “menjawab” pertanyaan-pertanyaan ini gak akan berlangsung lama.

Tapi yang mau kugaris bawahi untuk bahasan kali ini yaitu pertanyaan “abis kuliah mau ngapain?” Mostly pada bilang mau cari kerja. Orang masih percaya bahwa dengan ijazah S1 kita bisa menaklukan dunia. Apalagi dengan ijazah dari universitas-universitas mentereng bukan hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Para mantan-mantan “mahasiswa” fresh from the oven ini bakal semangat banget buat nyari-nyari pekerjaan yang sesuai sama jurusan mereka. Mungkin ada yang beginner’s luck yang pertama kali coba langsung tembus atau bahkan ada yang jadi veteran job seeker yang harus berjuang mati-matian buat dapet kerjaan. Ada yang ngincer buat ikut management trainee di perusahaan kelas kakap hingga ada yang targetnya cuma buat jadi staf salah satu perusahaan kecil. Semua tergantung kepada keinginan mereka, tidak ada yang bisa memaksakannya.

Menurutku ada suatu keunikan dibalik “hunger games” nyari kerja ini. Tiap orang pasti memiliki kompetensi yang berbeda-beda karena variasi antar jurusan yang bisa jadi begitu mirip hingga benar-benar seperti langit dan bumi. Belum tentu juga satu jurusan yang sama tetapi almamater yang berbeda bakal menghasilkan lulusan yang serupa. Bahkan satu jurusan dalam universitas yang sama pasti menghasilkan fresh graduates yang berbeda. Ambil contoh di geologi, ada yang mendalami mengenai minyak dan gas bumi (ini biasanya sub jurusan terfavorit di geologi), ada juga yang memperdalam mengenai bahan-bahan tambang, ada yang ingin menjadi ahli air tanah, hingga expert di bidang geologi rekayasa. Walaupun para calon geologist ini bakal dibekali ilmu-ilmu dasar yang sama, output mereka akan berbeda tergantung dari “niat” mereka dalam mengembangkan ilmu-ilmu yang mereka miliki.

Geologi adalah ilmu yang mempelajari bumi lewat batuan.

Tapi terlepas dari perbedaan output tersebut, ternyata ada sebuah hasil statistik yang menarik. Ternyata di Indonesia, hanya 30% pekerja yang memiliki kesesuaian antara pekerjaan yang mereka kerjakan dengan latar belakang pendidikan. Kalau boleh berhipotesis, terjadi ketidakcocokkan antara apa yang disodorkan oleh universitas dengan apa yang diinginkan oleh perusahaan. Hal ini pun didukung oleh adanya program “management trainee” dimana perusahaan tidak menargetkan secara khusus jurusan-jurusan yang akan direkrut. Biasanya asal berlabelkan teknik, semua pelamar bisa mengikuti proses rekrutmen. Tidak hanya program management trainee yang bisa diikuti oleh sebagian besar dari pelamar dari latar belakang yang berbeda-beda. Posisi marketing dan sales pun selalu terbuka luas untuk semua jurusan tidak terbatas pada jurusan teknik yang umumnya dilirik oleh perusahaan untuk bagian “management trainee”. Bahkan kalau digali lebih dalam, salah satu tujuan dari adanya program management trainee adalah mendidik calon sales baru yang siap menawarkan kredit-kredit kepada calon nasabah yang berpotensi, menurut salah satu mantan karyawan bank berpelat merah yang pernah mengikuti program ini.

Kerja yang masih menjadi kemewahan bagiku.

Kalau dicermati, pekerjaan-pekerjaan yang ada saat ini lebih menitikberatkan kemampuan-kemampuan soft skills dibandingkan keahlian teknis yang diperoleh selama kuliah. Bahkan bagi seorang manajer yang memiliki background pendidikan dalam manajemen berkata bahwa ilmu yang didapat selama kuliah hanya terpakai 10% nya di dunia nyata. Hal ini cukup mencengangkan karena banyak sekali mahasiswa-mahasiswa dengan keidealisannya menyatakan bahwa kemampuan hard skill lah yang akan menjamin nikmatnya kehidupan di masa yang akan datang. Mereka berlomba-lomba untuk menghasilkan indeks prestasi yang menjulang tetapi kurang mengasah kemampuan organisasi mereka. Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang ternyata memang memiliki kecerdasan dalam bentuk soft skill. Mereka memiliki kemampuan alamiah sebagai problem solver, negotiator, social influencer, dan lain-lain, sehingga pekerjaan-pekerjaan yang telah disebutkan olehku tadi menjadi pekerjaan yang menyenangkan bagi mereka dan mereka akan berkembang pesat apabila menggeluti bidang-bidang yang telah kusebutkan tadi.

Mungkin ada berpikiran apakah bakat bisa dilihat oleh HR saat wawancara kerja? Selama ini, pengalamanku dalam mencari kerja juga berkata bahwa hal ini sangatlah jarang terjadi. Pada awalnya, tetap dilihat jurusan awal kita berasal dari mana. Kemudian dicek terlebih dahulu apakah kita memiliki kemampuan dasar yang sesuai dengan keinginan perusahaan. Barulah ketika masuk sesi wawancara, HR akan berusaha melihat dulu bagaimana kepribadian kita barulah ketika mereka ada waktu, mereka akan berusaha menggali bakat kita. Jadi bakat adalah sesuatu yang mungkin kurang diperhatikan bagi HR. Aku percaya bahwa banyak orang di luar sana memiliki bakat dengan latar belakang akademik yang cukup bertolak belakang, sehingga untuk bekerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang akademiknya, mungkin saja orang tersebut akan kurang berkembang di bidang tersebut.

Lantas apakah S2 bisa menambahkan kepercayaan diri dalam menyongsong karir? Atau bahkan bisa menambahkan pundi-pundi uang yang akan didapatkan nanti? Sayang sekali jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini susah untuk terjadi. Aku masih sering melihat banyak sekali lulusan S2 yang bersama-sama lulusan S1 saling bersaing untuk mencari penghidupan yang layak di posisi yang sama. Yang lebih gila lagi adalah banyak dari mereka yang ikhlas untuk digaji dengan gaji yang sama dengan lulusan S1. Menurut pengakuan salah seorang temanku, S2 hanya akan menambah nilai plus ketika seleksi pekerjaan. Namun setelah diterima, dia yang notabene sudah lulus S2 memiliki kesempatan yang sama dengan lulusan S1 di perusahaan komestik dimana dia bekerja.

S2 yang mungkin bagi sebagian orang menjadi alternatif yang bagus untuk melanjutkan hidup.

Aku yakin mungkin beberapa dari mahasiswa ada yang ingin menjadi dosen dimana lulus S2 menjadi suatu keharusan. Hal ini sangatlah baik karena menjadi dosen adalah suatu pekerjaan mulia dimana mentransfer ilmu yang dimiliki kepada mahasiswanya sehingga mereka menjadi pintar. Namun perlu diperhatikan, apakah kebutuhan dosen seimbang dengan jumlah calon dosen yang ada pada saat itu. Jangan sampai jumlah calon dosen melebihi kebutuhan akan dosen yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi.

Atau lintas jurusan menggodamu untuk mengambil S2? Aku pun salah seorang yang tergoda dengan rayuan jurusan lain yang mungkin bisa membawaku ke kepastian masa depan yang gemerlap. Sering juga kutemukan di dunia nyata orang yang lintas jurusan ini dan menjadi sukses. Tapi perlu kugaris bawahi, bahwa sebagian besar dari mereka yang sukses itu telah memiliki pekerjaan yang tetap ketika memulai S2 nya, sehingga aku lebih menyarankan mereka-mereka yang ingin S2 untuk terlebih dahulu mencari pekerjaan sebelum memulai S2. Disamping kebutuhan financial, kepastian akan pekerjaan telah terjamin apabila kita sudah memiliki pekerjaan. Intinya sih “nothing to lose”.

Kembali lagi, aku bukanlah siapa-siapa bagi kalian. Kalian lah yang menentukan jalan hidup kalian, sehingga keputusan akan sangat bergantung kepada kalian. Kalianlah yang mengerti baik-buruknya bagi kehidupan kalian dan kalian yang akan merasakan keuntungan dan kerugian dibalik putusan kalian.

--

--

RA Fauzan

Proud to be Javanese! Full time economist and part time geologist.